Total Pageviews

Wednesday, February 8, 2012

LAPORAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Judul Percobaan                        :  Uji Bahan Tambahan Makanan; Zat         Warna Sintetis, Boraks, dan Formalin.

1.2   Tujuan Percobaan         :
·         Menganalisis zat warna sintesis pada bahan pangan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis.
·         Mrnganalisis keberadaan boraks pada bahan pangan dengan metode uji nyala.
·         Menganalisis keberadaan formalin pada bahan pangan dengan penambahan kalium permanganat KMNO4.

1.3  Prinsip Percobaan           :
·         Kromatografi kertas dapat mengelusi pewarna alami, sedangkan pewarna sintetis tetap berada pada garis pembatas (tetap).
·         Boraks adalah padatan kristalin yang dilarutkan dalam air membentuk asam borat. Borat dalam asam sulfat pekat dan metanol akan membentuk metal borat B(OCH3)3, yang jika terbakar akan menghasilkan nyala api berwarna hijau.
·         Kalium permanganat dapat mengoksidasi formaldehid dalam formalin, ditandai dengan hilangnya warna ungu muda menjadi tidak berwarna.

1.4  Teori Percobaan              :
·         Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37 % formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol hingga 10 - 15 % sebagai pengawet. Formalin dikenal luas sebagai bahan pembunuh hama (disinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Metanol tesebut sangat toksik dan dapat menyebabkan kematian pada orang bila tertelan sedikitnya 30 mL (Lehninger, 1982 : 314).
Formalin digunakan untuk :
·         Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih : lantai, kapal, gudang, dan pakaian.
·         Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain.
·         Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.
·         Pencegah korosi untuk sumur minyak.
·         Dalam konsentrasi yang sangat kecil (<1%) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin dan pembersih karpet.
Formaldehid yang lebih dikenal dengan nama formalin ini adalah salah satu zat tambahan makanan yang dilarang. Meskipun sebagian banyak orang sudah mengetahui terutama produsen bahwa zat ini berbahaya jika digunakan sebagai pengawet, namun penggunaannya bukannya menurun namun malah semakin meningkat dengan alasan harganya yang relatif murah dibanding pengawet yang tidak dilarang dan dengan kelebihan.
Formalin sebenarnya bukan merupakan bahan tambahan makanan, bahkan
merupakan zat yang tidak boleh ditambahkan pada makanan. Memang orang yang
mengkonsumsi bahan pangan (makanan) seperti tahu, mie, bakso, ayam, ikan dan
bahkan permen, yang berformalin dalam beberapa kali saja belum merasakan akibatnya. Tapi efek dari bahan pangan (makanan) berformalin baru bisa terasa beberapa tahun kemudian. Formalin dapat bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Di dalam tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di hati dan sel darah merah. Pemakaian pada makanan dapat mengakibatkan keracunan pada tubuh manusia, yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf atau kegagalan peredaran darah (Effendi, 2009).

Uji kualitatif untuk mengidentifikasi formalin pada suatu bahan pangan dilakukan dengan menambahkan kalium permanganat. Kaluim permanganat berfungsi untuk mengoksidasi formaldehid dalam formalin, ditandai dengan hilangnya warna ungu muda menjadi tak berwarna.


Saat formalin dipakai mengawetkan makanan, gugus aldehid spontan bereaksi dengan protein-protein dalam makanan. Jika semua formaldehid habis bereaksi, sifat racun formalin hilang. Protein makanan yang telah bereaksi dengan formalin tidak beracun dan tidak perlu ditakuti. Namun, nilai gizi makanan itu menjadi rendah, karena proteinnya berubah. Protein-protein dalam tahu berformalin, misalnya, menjadi sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan (tripsin). Modifikasi struktur rantai samping residu lisin dan arginin akibat reaksi dengan formaldehid membuat pusat aktif tripsin tidak mampu mengenali sisi spesifik pemutusan ikatan peptida pada protein tahu. Ini yang membuat tahu berformalin jauh lebih sedikit dicerna ketimbang tahu bebas formalin. Makanan berformalin akan beracun hanya jika di dalamnya mengandung sisa formaldehid bebas. Sisa formaldehid bebas (yang tidak bereaksi) hampir selalu ada dan sulit dikendalikan. Itulah sebabnya, formalin untuk pengawet makanan tidak dianjurkan karena sangat berisiko. Cara sederhana untuk menghilangkan sisa formaldehid bebas dalam formalin adalah penguapan sampai kering (di atas 100 oC). Tidak menggunakan formalin untuk bahan pengawet makanan adalah langkah terbaik. Sifat racun formalin cocok untuk antiseptik toilet, disinfektan, senyawa pembalsem, dan pensteril tanah (Nurachman, 2006 : 10).
Uap formalin sangat iritatif, dapat menyebabkan rasa yang menyengat dan rasa menusuk dalam hidung, dan dapat menyebabkan keluarnya air mata. Formalin cepat sekali diabsorbsi dari saluran pencernaan, dan juga oleh paru-paru. Formalin yang masuk melalui saluran pernafasan menyebabkan bronkitis, pneumonitis, kerusakan ginjal, dan penekanan susunan saraf pusat (Groliman, 1962). Sedangkan efek formalin jika tertelan menyebabkan gangguan pencernaan, asidosis yang kuat karena formalin dalam tubuh mengalami metabolism menjadi asam formiat, karbondioksida, metanol, dan dalam bentuk metabolit HO-CH2-alkilasi (Theines dan Halley, 1955). Formalin juga dapat menyebabkan sakit perut, mual, muntah, diare, bahkan kematian jika dikonsumsi pada jumlah yang melewati ambang batas aman (Gazette, 2003).


BAB II
ALAT DAN BAHAN
Alat
Bahan
·         Pipet kapiler 5 mL
·         Ball pipet
·         Labu ukur
·         Kertas saring
·         Chamber
·         Cawan
·         Alat tanur
·         Korek api
·         Pisau
·         Tabung reaksi
·         Pipet tetes
·         Aquades
·         Sampel untuk zat warna
·         Sampel untuk boraks dan formalin
·         H2SO4 pekat
·         Metanol
·         KMnO4 0,2 %


















BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Kel
Sampel
Hasil
·      Warna sampel = kuning orange
·      Warna sampel pada plat = kuning
·      Warna sampel setelah terelusi = kuning pudar
·      Pewarna dalam kemasan =
Tartrazine Cl 19140
Kuning FCF 15989
1
A
++-
2
B
+++
3
C
++
4
D
-
5
E
+++
6
F
+++
7
G
++-
8
H
+++
·         Uji Zat Warna Sintetis

·         Uji Boraks
Kel
Sampel
Hasil
·         Sampel = udang
·         Berat udang = 3,0162 g
·         Warna api yang terbentuk pada saat pembakaran sampel = merah

Merah boraks (negatif)
Hijau = boraks (positif)
1
A
+
2
B
+
3
C
-
4
D
-
5
E
-
6
F
-
7
G
-
8
H
-

Kel
Sampel
Hasil
·         Sampel = udang
·         Berat udang = 5,0401 g
·         Larutan keruh (filtrat) + 5 tetes KMNO4 0,2 % = merah muda menghilang (Positif)
1
A
+
2
B
+
3
C
+
4
D
+
5
E
+
6
F
+
7
G
+
8
H
+
·         Uji Formalin
Ket:     (+) = positif mengandung pewarna sintetis/ boraks/ formalin
            (-)  = negatif mengandung pewarna sintetis/ boraks/formalin.

BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan uji bahan tambahan pangan ini merupakan analisa kualitatif utuk membuktikan adanya formalin, boraks, dan pewarna alami pada sampel yang di uji. Menurut Peraturan Pemerintah Kesehatan RI. No 329/Menkes/PER/XII/76, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan atau dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu.
Zat additive pada produk makanan dan minuman berfungsi sebagai bahan yang dapat memperpanjang masa simpan produk serta untuk memperoleh mutu sensoris (citarasa,warna,dan tekstur). Zat aditif juga ditambahkan ke dalam makanan atau pun minuman yang bertujuan memberikan rasa, warna yang menarik, dan supaya makanan atau pun minuman tersebut dapat bertahan lama. Zat aditif ini sama sekali tidak mengandung nilai gizi kepada yang mengkonsumsinya. Dalam jumlah yang tidak terlalu berlebihan zat aditif ini tidak berbahaya, akan tetapi jikalau telah melebihi dari standar yang normal maka sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Misalnya dalam jangka panjang akan menyebabkan kanker, gangguan fungsi ginjal, hati, menurunnya fungsi otak yang berakibat makin melemahnya daya ingat seseorang, dan efek-efek negatif lain yang dapat mengganggu kesehatan.
UJI BORAKS
Pada praktikum uji boraks ini dilakukan analisa kualitatif untuk mengidentifikasi adanya boraks pada sampel bahan makanan melalui uji nyala. Boraks adalah senyawa kimia yang mempunyai sifat dapat mengembangkan, memberi efek kenyal, serta membunuh mikroba.  
Uji nyala adalah salah satu metode pengujian untuk mengetahui apakah dalam makanan tersebut terdapat boraks atau tidak. Disebut uji nyala karena sampel yang digunakan dibakar uapnya, kemudian warna nyala dibandingkan dengan warna nyala boraks asli. Boraks murni bila dibakar menghasilkan nyala api berwarna hijau. Jika sampel yang dibakar menghasilkan warna nyala hijau maka sampel dinyatakan positif mengandung boraks.

Sampel yang digunakan pada uji boraks dan formalin ini yaitu, sampel A (baso); B (mie basah); C (cumi); D (bandeng); E (lontong); F (babat); G (udang); dan H (bubur ayam). Sampel pada kelompok 7 yaitu udang.
Boraks merupakan garam Natrium Na2B4O7.10H2O yang banyak digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik, pengontrol kecoak dan keramik. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian boraks pada makanan dapat menimbulkan efek racun pada tubuh manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi.
Pada percobaan ini, sebanyak 3 g sampel (udang) dalam cawan diabukan dalam tanur listrik pada suhu 5500C selama 2 jam. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pembakaran pada sampel. Untuk mengetahui adanya boraks dalam sampel, ditambahkan 8 tetes H2SO4 dan 1 mL metanol. Hasil reaksi antara borat, asam sulfat pekat, dan metanol menghasilkan metal borat B(OCH3)3 yang jika terbakar akan menghasilkan nyala api berwarna hijau. Warna hijau ini mengiidikasikan adanya boraks dalam sampel. Pada saat pembakaran sampel udang, warna yang terbentuk merah. Hal ini membuktikan bahwa udang yang dianalisis tidak mengandung boraks(negatif).
Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 - 20 gram atau lebih. Pengaruh terhadap kesehatan:
a.       Tanda dan gejala akut :
Muntah, diare, merah dilendir, konvulsi dan depresi SSP (Susunan Syaraf Pusat)
b.      Tanda dan gejala kronis
- Nafsu makan menurun

- Gangguan pencernaan
- Gangguan SSP : bingung dan bodoh
- Anemia, rambut rontok dan kanker
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), keberadaan boraks pada makanan tidak ditoleransi (tidak boleh ada dalam kadar berapapun), karena sangat berbahaya bagi kesehatan, oleh sebab itu penggunaan boraks dilarang (tidak ada standar kadar boraks dalam makanan).

UJI FORMALIN
Pada uji formalin ini, sampel yang digunakan yaitu udang. Formaldehid yang lebih dikenal dengan nama formalin ini adalah salah satu zat tambahan makanan yang dilarang.  Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbul antara lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam.
Formalin sebenarnya bukan merupakan bahan tambahan makanan, bahkan
merupakan zat yang tidak boleh ditambahkan pada makanan. Memang orang yang
mengkonsumsi bahan pangan (makanan) seperti tahu, mie, bakso, ayam, ikan dan
bahkan permen, yang berformalin dalam beberapa kali saja belum merasakan akibatnya. Tapi efek dari bahan pangan (makanan) berformalin baru bisa terasa beberapa tahun kemudian. Formalin dapat bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Di dalam tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di hati dan sel darah merah. Pemakaian pada makanan dapat mengakibatkan keracunan pada tubuh manusia, yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf atau kegagalan peredaran darah (Effendi, 2009).
Uap formalin sangat iritatif, dapat menyebabkan rasa yang menyengat dan rasa menusuk dalam hidung, dan dapat menyebabkan keluarnya air mata. Formalin cepat sekali diabsorbsi dari saluran pencernaan, dan juga oleh paru-paru. Formalin yang masuk melalui saluran pernafasan menyebabkan bronkitis, pneumonitis, kerusakan ginjal, dan penekanan susunan saraf pusat (Groliman, 1962). Sedangkan efek formalin jika tertelan menyebabkan gangguan pencernaan, asidosis yang kuat karena formalin dalam tubuh mengalami metabolism menjadi asam formiat, karbondioksida, metanol, dan dalam bentuk metabolit HO-CH2-alkilasi (Theines dan Halley, 1955). Formalin juga dapat menyebabkan sakit perut, mual, muntah, diare, bahkan kematian jika dikonsumsi pada jumlah yang melewati ambang batas aman (Gazette, 2003).

Formalin dan metahnyl yellow merupakan bahan tambahan pangan (BTP)
yang dilarang penggunaannya dalam makanan menurut peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999.
Sampel sebanyak 5 g diiris-iris dan ditambahkan awuades, untuk mengencerkan dan mempermudah pengamatan. Pada saat sampel disaring dan ditambahkan 5 tetes KMnO4 0,2% larutannya berwarna merah muda, kemudian menghilang. Penambahan Kalium permanganat berfungsi untuk mengoksidasi formaldehid dalam formalin, yang ditandai dengan hilangnya warna ungu muda menjadi tidak berwarna. Hilangnya warna merah muda pada sampel mengindikasikan sampel mengandung formalin (positif).

UJI PEWARNA SINTETIS
Pada praktikum kali ini, metode kromatografi kertas digunakan untuk mengetahui kandungan zat pewarna pada beberapa sampel minuman. Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan (Suhanda, 2006). Kromatografi digunakan untuk memisahkan campuran dari substansinya menjadi komponen-komponennya.
Sampel yang berupa liquid ditotolkan pada tanda batas dikertas saring menggunakan pipa kapiler, sampel berwarna kuning kejinggaan. Kemudian kertas saring dimasukkan ke dalam chamber yang berisi aquades. Aquades diisi < 1cm, untuk mencegah terendamnya kertas saring oleh aquades.  Chamber ditutup rapat dengan tujuan agar meyakinkan bahwa astmosfer dalam gelas kimia terjenuhkan denga uap pelarut. Penjenuhan udara dalam gelas kimia dengan uap menghentikan penguapan pelarut sama halnya dengan pergerakan pelarut pada kertas. Karena pelarut bergerak lambat pada kertas, komponen-komponen yang berbeda dari campuran zar warna akan bergerak pada laju yang berbeda dan campuran dipisahkan berdasarkan pada perbedaan bercak warna.
Pada saat terjadinya pergerakan kenaikan noda, disini terjadi proses kompleksitas atau terjandinya interaksi antara air di atmosper chamber dengan solulosa ( penyusun kertas saring ). Interaksi ini lah yang menjadi hal yang sangat penting dalam pengerjaan kromatografi kertas. Sampel yang diuji sedikit terelusi ke atas dan sebagian lagi ada yang tetap bertahan ditanda batas. Hal ini menunjukkan bahwa sampel mengandung campuran pewarna sintetis dan pewarna alami.
Uncertified color atau pewarna sintetik tidak dapat digunakan sembarangan. Di negara maju, pewarna jenis ini harus melalui proses sertifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan pada bahan makanan. Di Indonesia peraturan penggunaan zat pewarna sintetik baru dibuat pada tanggal 22 Oktober 1973 melalui SK Menkes RI No. 11332/A/SK/73, sedangkan di Amerika Serikat aturan pemakaian pewarna sintetik sudah dikeluarkan sejak tahun 1906. Peraturan ini dikenal dengan Food and Drug Act (FDA) yang mengijinkan penggunaan tujuh macam zat pewarna sintetik, yaitu orange no.1, erythrosine, ponceau 3R, amaranth, indigotine, napthol-yellow, dan light green. Sejak saat itu banyak pewarna lain yang mendapat izin untuk digunakan pada bahan makanan setelah mengalami berbagai pengujian fisiologis. Pada tahun 1983 FDA disempurnakna menjadi Food, Drug, and Cosmetic Act (FD & C). sejak saat itu zat pewarna sintetik dibagi menjadi tiga kelompok : FD and C color, untuk makanan, obat-obatan, dan komestik; D & C untuk obat-obatan dan komestik (tidak dapat digunakan untuk makanan); dan Ext D & C yang diizinkan untuk dipakai pada obat-obatan dan komestik dalam jumlah yang dibatasi. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang jenis

pewarna alami dan sintetik yang diijinkan serta yang dilarang digunakan dalam makanan pada tanggal 19 Juni 1979 No. 235/Menkes/Per/VI/79. Kemudian disusul dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 1 Mei 1985 No. 239/Menkes/Per/V/85, yang berisikan jenis pewarna yang dilarang. Terakhir telah dikeluarkan pula Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/88, yang mengatur batas penggunaan maksimum dari pewarna yang diijinkan untuk makanan (Winarno, 1995).
Pemakaian bahan pewarna pangan sintetis dalam pangan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, di antaranya dapat membuat suatu pangan lebih menarik, meratakan warna pangan dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, namun dapat member dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Beberapa hal yang mungkin memberi dampak negatif tersebut terjadi bila :
a. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang
b. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu lama
c. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu pangan sehari-hari dan keadaan fisik
d. Berbagai lapisan masayarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan
e. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan (Cahyadi, 2006).
            Dari hasil percobaan uji zat warna, sampel minuman yang dianalisis mengandung pewarna campuran. Didalam kemasan sampel tertera pewarna yang digunakan adalah Tartrazine Cl 19140 dan Kuning FCF 15989. Minuman ini masih aman dikonsumsi jika sesuai ADI (Batas maksimal konsumsi).








BAB VI
KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
·         Sampel G (Udang) tidak mengandung boraks (negatif)
·         Sampel G (Udang) mengandung formalin (positif)
·         Sampel G (minuman) pada uji pewarna sintetis mengandung pewrna campuran.


BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/MENKES/PER/X/ 1999. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Cahyadi, Wisnu, 2006, Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, 58, Bumi Aksara, Jakarta.
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Tentang Tanda Khusus Pewarna Makanan. http://www.pom.go.id. Diakses pada tanggal 29 Januari  2012.
Gazette, P. 2003. Thailand Crackdown on Hazardous Food Additives, (online), http://www.thaivisa.com/index.php?514&backPID=10&tt_ news=291. Diakses pada tanggal 28 Januari 2012.
Groliman, A. 1962. Pharmacology and Theyrapetics, Edisi ke-5, Lea & Febiger, Philadelphia.
Theines, C.H., and Haley, T.J. 1955. Clinical Toxicology, Edisi ke-3, 60, 193,310, Lea & Febiger, Philadelphia.
Winarno, F. G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 

1 comment:

  1. sangat bermanfaat sharing laporan nya jadi ikutan mensitasi ya. makasih.

    ReplyDelete